REPUBLIKA.CO.ID,Banyak orang yang menyangka di Roma, Ibukota Italia,
dipenuhi gereja-gereja. Tak ada yang menyangka bahwa di kota yang
dibangun oleh Romus dan Romulus itu berdiri sebuah masjid megah. Yang
menarik dan unik, lokasi masjid yang didesain arsitek Italia Paulo
Porthogesi, berdekatan dengan Kota Vatikan dan Sinagog Yahudi. Artinya,
tak ada masalah jika tiga tempat peribadatan itu saling berdekatan.
Dari lembah Tiber, masjid itu tampak menjulang tinggi menyaingi Montenne, sebuah bikit yang sangat subur di utara kota Roma. Bagi penduduk Roma yang mayoritasnya penganut Katolik Roma, mereka juga bangga dengan adanya sebuah bangunan yang didominasi warna kuning muda itu. Bangunan pusat kegiatan umat Islam itu, mereka nilai, memiliki keistimewaan di banding dengan berbagai bangunan megah lainnya yang ada di kota itu. Di antara keistimewaannya, enam belas kubah ditambah sebuah kubah besar di tengah yang atasnya dihiasi dengan bulan sabit, serta sebuah menara berbentuk pohon palem setinggi 40 meter.
Keberadaan masjid di tengah Kota Roma itu, tak terlepas dari jasa almarhum Raja Faisal bin Abdul Aziz, Raja Saudi Arabia yang meninggal pada 1975. Menurut Faisal, Kota Roma, di mana menetap sekitar 40 ribu Muslim pada 1970-an (sekarang terhadap sekitar 100 ribu Muslim di Roma dan 250 ribu Muslim di seluruh Italia), sudah seharusnya jika mereka memiliki sebuah masjid. Rencana Raja Faisal itu baru teralisir pada 1974, ketika Presiden Italia Giovanni Leone berkunjung ke Saudi Arabia. Pada pertemuan kedua pemimpin itu, Raja Faisal mengemukakan, rencana pembangunan masjid itu selain sebagai tempat ibadat dan kegiatan umat Islam di Italia, juga bisa dimanfaatkan untuk menjalin hubungan akrab serta berdialog antara umat Islam dan Kristen, yang selama itu, khususnya di Italia selalu diwarnai dengan gejolak dan sentimen keagamaan.
Geovanni menyambut baik usulan Faisal. Bahkan ia berjanji akan menyediakan tanah untuk lokasi pembangunan masjid itu di Roma. Namun ia memberi syarat, antara lain pihak Raja Faisal harus menyediakan seluruh dananya. Faisal langsung menyetujui. Dan Saudi Arabia telah menyumbangkan tak kurang dari 30 juta dolar (lebih 60 miliar rupiah) untuk masjid itu. Pada tahun itu juga, sebuah komite ahli untuk menangani pembangunan masjid dibentuk. Mereka lalu memilih Paulo Portoghesi dan Insinyur Vittorio Gigliotti, untuk mengerjakan interius masjid, dan arsitek irak Sami Mousawi untuk eksteriurnya. Pada 1976, dari segi teknis tampaknya pembangunan masjid Roma itu akan segera terealisir. Namun ternyata, faktor non teknis telah menghambat pembangunan tempat peribadatan itu.
Berbagai kontraversi Sejah tersiar berita akan dibangun sebuah masjid di Roma dan bahwa Pemerintah Kota Roma telah menyediakan lokasinya, mencuatlah sikap tidak setuju dari beberapa kelompok masyarakat setempat. Pertentangan itu sendiri bukan sekedar menghalangi konstruksi masjidnya, tapi juga mengancam seluruh rencana. Kontroversi dimulai oleh para pecinta lingkungan, yang menyatakan bahwa Roma hanya memiliki sedikit taman. Mereka menghendaki agar tempat kosong yang akan dibangun masjid itu dimanfaatkan untuk penghijauan kota. Padahal sebelumnya, tempat kosong itu hanya digunakan sebagai pembuangan sampah. ''Roma Ketumpahan Minyak,'' judul sebuah artikel di harian Corriere della Sera menyokong tuntutan para pecinta lingkungan.
Para arsitek Italia juga mempertentangkan rancangan Portoghesi. Masjid yang diasitekinya itu, mereka nilai, mempunyai karakter Islam yang sangat kuat. Mereka khawatir, bangunan masjid itu akan mendominasi pemandangan berbagai bangunan di Roma yang bercirikhaskan Eropa. Lalu ada pendapat lain yang menyatakan, rancangan tersebut terlalu menunjukkan nasionalisme Arab. Meski yang mencuat adalah berbagai alasan tadi, namun alasan sebenarnya adalah masalah psikologi masyarakat setempat. Bahwa, bagaimana sebuah masjid dibangun di jantung wilayah Kristen. Berbagai perdebatan umum yang muncul di media massa setempat, telah menyebabkan munculkan ketegangan dan sentimen rasial anti Arab. ''Saya dan walikota Roma yang mereka anggap sebagai biang keladi, bahkan telah menerima ancaman pembunuhan,'' ujar Portoghesi.
Ketegangan itu mulai agak reda, setelah pihak Vatikan menunjukkan dukungan penuh terhadap proyek tersebut. Seperti pendapat Raja Faisal, Vatikan juga menyatakan sebuah masjid di Roma akan menandai awal dialog yang lebih bermakna antara Barat dan Timur, Kristen dan Islam. ''Masjid itu nanti, akan merupakan suatu tangga menuju 'Penyatuan semua anak keturunan Nabi Ibrahim','' bunyi sebuah pernyataan dari Vatikan. Berkubang dalam kontroversi dan hambatan birokrasi, pembangunan masjid itu baru bisa terlaksana sejak 1984. ''Kontraversi terhadap masjid itu yang mendominasi Roma tahun 70-an, telah lenyap. Bahkan masyarakat Roma sendiri, sekarang menjadi tertarik dan ingin tahu,'' kata Portoghesi. Parioli, tetangga yang cantik dan konservatif yang tinggal sekitar masjid dan salah satu penentang keras pembangunan masjid, baru-baru ini malah ikut sebagai peserta dalam pameran kebudayaan yang diselenggarakan oleh Masjid Roma.
Pada 1974, komite pembangunan masjid, menekankan bahwa masjid itu harus menunjukkan citra kebudayaan dan arsitektur Islam, dan sekaligus mempunyai hubungan orgnaik dengan struktur kota dan arsitektur tradisional kota Roma. Portoghesi, seorang arsitektur Italia yang telah lama menggandrungi seni arsitektur lama Islam, tidak susah menangkap dua tuntutan tadi, tanpa mengorbankan karakteristik struktur modern dengan semua teknologi canggihnya. Dan meskipun Portoghesi dan Mousawi bekerjasama dalam aspek yang berbeda dari masjid itu, namun ternyata karya Portoghesi lebih mendominasi kontruksi akhir masjid. Rancangan Portoghesi untuk ruang utama misalnya, diambil dari bentuk dan model masjid fase klasik dari arsitektur Islam. Ruang ibadah yang luas dan berbentuk persegi ini, dari pintu didahului oleh halaman yang dikelilingi tembok dan air mancur di tengahnya. Halaman itu dibatasi oleh sebuah taman berupa lajur tipis. Sementara untuk ruang ibadah wanita, dibangun dua balkon di dua sisi ruang utama.
Untuk mendekorasi masjid, Portoghesi mendatangkan sejumlah pekerja tangan ahli dari Maroko. Tugas mereka adalah menggambar berbagai mosaik yang membatasi balkon, relung, dan basis-basis lajur. Meskipun berbagai asilitas selama di Roma disediakan, namun para pekerja Maroko itu hanya mau menerima makanan dan tempat penginapan. Mereka menolak upah kerja. ''Ini merupakan tugas agama,'' kata mereka. Lajur-lajur Portoghesi, mengikuti motif klasik dari tipe lengkungan seperti yang ada di sebagian besar masjid-masjid kuno. Teknik baru yang menggunakan semen bertulang membuatnya mampu mendukung membuat bentuk garis-garis tipis dan kecil, menciptakan satu floating yang sangat halus. ''Arsitektur Islam membebaskan dirinya sendiri dari tarikan gravitasi, dan saya mencoba menafsirkannya ke dalam masjid ini. Ada suatu perasaan yang tersedot ke arah langit oleh suatu kekuatan misterius,'' kata Portoghesi. ''Batang-batang tipis itu memanjang ke atas ke arah kubah terapung di atas dan terbuka, laksana tangan-tangan ketika melakukan shalat.''
Yang juga membedakan masjid Roma ini dengan masjid-masjid yang ada di negara-negara Islam, menara yang merupakan bagian dari masjid, memilik bentuk semacam palem sebagaimana lajur-lajur masjid. Menara yang tegak terpisah dari masjid. Menara yang tegak terpisah dari masjid itu dapat juga dipandang sebagai sebuah tugu, yang biasanya ditempatkan di ujung jalan-jalan kota Roma. Portoghesi, yang telah menyelesaikan sejumlah proyek di Timur Tengah, melihat Arsitektur Islam sebagai bersaudara dengan Gothic dan Baroque dalam hal penekanan terhadap unsur keluhuran dan nonrasional. ''Saya telah bekerja keras mencipta sebuah arsitektur yang membebaskan fantasi itu. Di masjid tersebut saya ingin kekuatan imaginasi itu membakar jiwa.'' Menurut rencana. Portoghesi juga akan mengembangkan tanah sekitar masjid dengan taman dan air mancur. ''Taman-taman ini akan saya buat sedemikian rupa, sehingga mendekati gambaran surga sebagaimana dilukiskan dalam Alquran,'' kata Portoghesi. Pohon palem, cemara, sejenis cemara, dan beberapa jenis pohon lainnya akan menutup sekitar area dan menciptakan suasana teduh. Jalan-jalan kecil yang rimbun, akan sangat ideal untuk berjalan-jalan di taman masjid. Dua batang pohon zaitun, simbol universal perdamaian, tumbuh di muka dinding utama, yaitu kiblat (mihrab) yang menunjukkan arah Mekkah.
Bukan hanya pada interior, Portoghesi ternyata juga menaruh perhatian pada efek pencahayaan masjid. ''Pencahayaan masjid saya buat sedemikian rupa sehingga unsur ketuhanan begitu terasa di dalam rumah ibadah ini,'' jelasnya. Pencahayaan di dalam kubah bukan hanya merupakan elemen arsitektur, tapi juga harus dapat melayani tujuan keagamaan yang lembut. Masing-masing dari 17 kubah itu ditembus oleh jendela-jendela persegi panjang yang kecil, sehingga sinar dari atas dapat menembus 386 bukaan dan mengaliri masjid itu dengan cahaya yang lembut. Ruang shalat, diterangi oleh lampu berbentuk lingkaran yang memantul ke atas langit-langit. Efek itu melambangkan aspirasi manusia untuk bergerak menuju Tuhan.
Pusat budaya Masjid Roma yang juga difungsikan sebagai Islamic Center ini, dilengkapi dengan berbagai fasilitas. Selain ruang kecil untuk digunakan sebagai tempat shalat sehari-hari, juga terdapat sebuah perpustakaan yagn dilengkapi dengan koleksi buku-buku tentang kebudayaan Islam dari Barat, serta auditorium untuk 400 orang, ruang konferensi, perkantoran, tempat parkir, dan taman yang luas. ''Masjid ini juga akan berfungsi untuk mendidik kaum Muslimin di Itali. Kami akan mengajarkan Alquran dan bahasa Arab,'' kata Abdul Quayyum Khan, direktur Islamic Centre Roma. Ia menambahkan, ''Tapi yang paling penting, Islamic Centre ini dibuka bagi setiap orang, dan buku-buku akan dapat ditentukan dalam bahasa Arab, Itali, Prancis dan Inggris.''
Memang, masjid Roma ini bukan sekadar tempat beribadah, tapi sebuah langkah dalam proses menuju integrasi sosial. Sebagaimana seorang pejabat Saudi menggambarkan, ''Hari itu perpaduan antarumat beragama akan menjadi kenyataan, manakala suara muazin berpadu dengan lonceng gereja Roma. Ini akan tidak lama lagi menjadi retorika untuk memanggil masing-masing saudara.''
Sumber: Republika
Dari lembah Tiber, masjid itu tampak menjulang tinggi menyaingi Montenne, sebuah bikit yang sangat subur di utara kota Roma. Bagi penduduk Roma yang mayoritasnya penganut Katolik Roma, mereka juga bangga dengan adanya sebuah bangunan yang didominasi warna kuning muda itu. Bangunan pusat kegiatan umat Islam itu, mereka nilai, memiliki keistimewaan di banding dengan berbagai bangunan megah lainnya yang ada di kota itu. Di antara keistimewaannya, enam belas kubah ditambah sebuah kubah besar di tengah yang atasnya dihiasi dengan bulan sabit, serta sebuah menara berbentuk pohon palem setinggi 40 meter.
Keberadaan masjid di tengah Kota Roma itu, tak terlepas dari jasa almarhum Raja Faisal bin Abdul Aziz, Raja Saudi Arabia yang meninggal pada 1975. Menurut Faisal, Kota Roma, di mana menetap sekitar 40 ribu Muslim pada 1970-an (sekarang terhadap sekitar 100 ribu Muslim di Roma dan 250 ribu Muslim di seluruh Italia), sudah seharusnya jika mereka memiliki sebuah masjid. Rencana Raja Faisal itu baru teralisir pada 1974, ketika Presiden Italia Giovanni Leone berkunjung ke Saudi Arabia. Pada pertemuan kedua pemimpin itu, Raja Faisal mengemukakan, rencana pembangunan masjid itu selain sebagai tempat ibadat dan kegiatan umat Islam di Italia, juga bisa dimanfaatkan untuk menjalin hubungan akrab serta berdialog antara umat Islam dan Kristen, yang selama itu, khususnya di Italia selalu diwarnai dengan gejolak dan sentimen keagamaan.
Geovanni menyambut baik usulan Faisal. Bahkan ia berjanji akan menyediakan tanah untuk lokasi pembangunan masjid itu di Roma. Namun ia memberi syarat, antara lain pihak Raja Faisal harus menyediakan seluruh dananya. Faisal langsung menyetujui. Dan Saudi Arabia telah menyumbangkan tak kurang dari 30 juta dolar (lebih 60 miliar rupiah) untuk masjid itu. Pada tahun itu juga, sebuah komite ahli untuk menangani pembangunan masjid dibentuk. Mereka lalu memilih Paulo Portoghesi dan Insinyur Vittorio Gigliotti, untuk mengerjakan interius masjid, dan arsitek irak Sami Mousawi untuk eksteriurnya. Pada 1976, dari segi teknis tampaknya pembangunan masjid Roma itu akan segera terealisir. Namun ternyata, faktor non teknis telah menghambat pembangunan tempat peribadatan itu.
Berbagai kontraversi Sejah tersiar berita akan dibangun sebuah masjid di Roma dan bahwa Pemerintah Kota Roma telah menyediakan lokasinya, mencuatlah sikap tidak setuju dari beberapa kelompok masyarakat setempat. Pertentangan itu sendiri bukan sekedar menghalangi konstruksi masjidnya, tapi juga mengancam seluruh rencana. Kontroversi dimulai oleh para pecinta lingkungan, yang menyatakan bahwa Roma hanya memiliki sedikit taman. Mereka menghendaki agar tempat kosong yang akan dibangun masjid itu dimanfaatkan untuk penghijauan kota. Padahal sebelumnya, tempat kosong itu hanya digunakan sebagai pembuangan sampah. ''Roma Ketumpahan Minyak,'' judul sebuah artikel di harian Corriere della Sera menyokong tuntutan para pecinta lingkungan.
Para arsitek Italia juga mempertentangkan rancangan Portoghesi. Masjid yang diasitekinya itu, mereka nilai, mempunyai karakter Islam yang sangat kuat. Mereka khawatir, bangunan masjid itu akan mendominasi pemandangan berbagai bangunan di Roma yang bercirikhaskan Eropa. Lalu ada pendapat lain yang menyatakan, rancangan tersebut terlalu menunjukkan nasionalisme Arab. Meski yang mencuat adalah berbagai alasan tadi, namun alasan sebenarnya adalah masalah psikologi masyarakat setempat. Bahwa, bagaimana sebuah masjid dibangun di jantung wilayah Kristen. Berbagai perdebatan umum yang muncul di media massa setempat, telah menyebabkan munculkan ketegangan dan sentimen rasial anti Arab. ''Saya dan walikota Roma yang mereka anggap sebagai biang keladi, bahkan telah menerima ancaman pembunuhan,'' ujar Portoghesi.
Ketegangan itu mulai agak reda, setelah pihak Vatikan menunjukkan dukungan penuh terhadap proyek tersebut. Seperti pendapat Raja Faisal, Vatikan juga menyatakan sebuah masjid di Roma akan menandai awal dialog yang lebih bermakna antara Barat dan Timur, Kristen dan Islam. ''Masjid itu nanti, akan merupakan suatu tangga menuju 'Penyatuan semua anak keturunan Nabi Ibrahim','' bunyi sebuah pernyataan dari Vatikan. Berkubang dalam kontroversi dan hambatan birokrasi, pembangunan masjid itu baru bisa terlaksana sejak 1984. ''Kontraversi terhadap masjid itu yang mendominasi Roma tahun 70-an, telah lenyap. Bahkan masyarakat Roma sendiri, sekarang menjadi tertarik dan ingin tahu,'' kata Portoghesi. Parioli, tetangga yang cantik dan konservatif yang tinggal sekitar masjid dan salah satu penentang keras pembangunan masjid, baru-baru ini malah ikut sebagai peserta dalam pameran kebudayaan yang diselenggarakan oleh Masjid Roma.
Pada 1974, komite pembangunan masjid, menekankan bahwa masjid itu harus menunjukkan citra kebudayaan dan arsitektur Islam, dan sekaligus mempunyai hubungan orgnaik dengan struktur kota dan arsitektur tradisional kota Roma. Portoghesi, seorang arsitektur Italia yang telah lama menggandrungi seni arsitektur lama Islam, tidak susah menangkap dua tuntutan tadi, tanpa mengorbankan karakteristik struktur modern dengan semua teknologi canggihnya. Dan meskipun Portoghesi dan Mousawi bekerjasama dalam aspek yang berbeda dari masjid itu, namun ternyata karya Portoghesi lebih mendominasi kontruksi akhir masjid. Rancangan Portoghesi untuk ruang utama misalnya, diambil dari bentuk dan model masjid fase klasik dari arsitektur Islam. Ruang ibadah yang luas dan berbentuk persegi ini, dari pintu didahului oleh halaman yang dikelilingi tembok dan air mancur di tengahnya. Halaman itu dibatasi oleh sebuah taman berupa lajur tipis. Sementara untuk ruang ibadah wanita, dibangun dua balkon di dua sisi ruang utama.
Untuk mendekorasi masjid, Portoghesi mendatangkan sejumlah pekerja tangan ahli dari Maroko. Tugas mereka adalah menggambar berbagai mosaik yang membatasi balkon, relung, dan basis-basis lajur. Meskipun berbagai asilitas selama di Roma disediakan, namun para pekerja Maroko itu hanya mau menerima makanan dan tempat penginapan. Mereka menolak upah kerja. ''Ini merupakan tugas agama,'' kata mereka. Lajur-lajur Portoghesi, mengikuti motif klasik dari tipe lengkungan seperti yang ada di sebagian besar masjid-masjid kuno. Teknik baru yang menggunakan semen bertulang membuatnya mampu mendukung membuat bentuk garis-garis tipis dan kecil, menciptakan satu floating yang sangat halus. ''Arsitektur Islam membebaskan dirinya sendiri dari tarikan gravitasi, dan saya mencoba menafsirkannya ke dalam masjid ini. Ada suatu perasaan yang tersedot ke arah langit oleh suatu kekuatan misterius,'' kata Portoghesi. ''Batang-batang tipis itu memanjang ke atas ke arah kubah terapung di atas dan terbuka, laksana tangan-tangan ketika melakukan shalat.''
Yang juga membedakan masjid Roma ini dengan masjid-masjid yang ada di negara-negara Islam, menara yang merupakan bagian dari masjid, memilik bentuk semacam palem sebagaimana lajur-lajur masjid. Menara yang tegak terpisah dari masjid. Menara yang tegak terpisah dari masjid itu dapat juga dipandang sebagai sebuah tugu, yang biasanya ditempatkan di ujung jalan-jalan kota Roma. Portoghesi, yang telah menyelesaikan sejumlah proyek di Timur Tengah, melihat Arsitektur Islam sebagai bersaudara dengan Gothic dan Baroque dalam hal penekanan terhadap unsur keluhuran dan nonrasional. ''Saya telah bekerja keras mencipta sebuah arsitektur yang membebaskan fantasi itu. Di masjid tersebut saya ingin kekuatan imaginasi itu membakar jiwa.'' Menurut rencana. Portoghesi juga akan mengembangkan tanah sekitar masjid dengan taman dan air mancur. ''Taman-taman ini akan saya buat sedemikian rupa, sehingga mendekati gambaran surga sebagaimana dilukiskan dalam Alquran,'' kata Portoghesi. Pohon palem, cemara, sejenis cemara, dan beberapa jenis pohon lainnya akan menutup sekitar area dan menciptakan suasana teduh. Jalan-jalan kecil yang rimbun, akan sangat ideal untuk berjalan-jalan di taman masjid. Dua batang pohon zaitun, simbol universal perdamaian, tumbuh di muka dinding utama, yaitu kiblat (mihrab) yang menunjukkan arah Mekkah.
Bukan hanya pada interior, Portoghesi ternyata juga menaruh perhatian pada efek pencahayaan masjid. ''Pencahayaan masjid saya buat sedemikian rupa sehingga unsur ketuhanan begitu terasa di dalam rumah ibadah ini,'' jelasnya. Pencahayaan di dalam kubah bukan hanya merupakan elemen arsitektur, tapi juga harus dapat melayani tujuan keagamaan yang lembut. Masing-masing dari 17 kubah itu ditembus oleh jendela-jendela persegi panjang yang kecil, sehingga sinar dari atas dapat menembus 386 bukaan dan mengaliri masjid itu dengan cahaya yang lembut. Ruang shalat, diterangi oleh lampu berbentuk lingkaran yang memantul ke atas langit-langit. Efek itu melambangkan aspirasi manusia untuk bergerak menuju Tuhan.
Pusat budaya Masjid Roma yang juga difungsikan sebagai Islamic Center ini, dilengkapi dengan berbagai fasilitas. Selain ruang kecil untuk digunakan sebagai tempat shalat sehari-hari, juga terdapat sebuah perpustakaan yagn dilengkapi dengan koleksi buku-buku tentang kebudayaan Islam dari Barat, serta auditorium untuk 400 orang, ruang konferensi, perkantoran, tempat parkir, dan taman yang luas. ''Masjid ini juga akan berfungsi untuk mendidik kaum Muslimin di Itali. Kami akan mengajarkan Alquran dan bahasa Arab,'' kata Abdul Quayyum Khan, direktur Islamic Centre Roma. Ia menambahkan, ''Tapi yang paling penting, Islamic Centre ini dibuka bagi setiap orang, dan buku-buku akan dapat ditentukan dalam bahasa Arab, Itali, Prancis dan Inggris.''
Memang, masjid Roma ini bukan sekadar tempat beribadah, tapi sebuah langkah dalam proses menuju integrasi sosial. Sebagaimana seorang pejabat Saudi menggambarkan, ''Hari itu perpaduan antarumat beragama akan menjadi kenyataan, manakala suara muazin berpadu dengan lonceng gereja Roma. Ini akan tidak lama lagi menjadi retorika untuk memanggil masing-masing saudara.''
Sumber: Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar